Friday, 25 March 2016

Person-Centered Therapy

by Fadhila Nursyifa at 3/25/2016 0 comments
Person-Centered Therapy merupakan model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan dikembangkan oleh psikolog humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek terapi person centered. Menurut Roger konsep inti terapi person centered adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.


Sejarah

Carl Roger
Person-Centered Therapy dibagi dalam empat periode perkembangan yaitu pada tahun 1940-an Carl Roger menamakan non-dirictive counseling sebagai reaksi kontra terhadap pendekatan psikoanalisis yang bersifat direktif dan tradisional, dimana non-dirictive counseling ini juga tidak memberikan kebebasan kepada konseli untuk mengungkapkan perasaannya.

Perkembangan periode kedua yaitu pada tahun 1951 dimana Roger mengubah nama pendekatannya menjadi Client-Centered Therapy (pemusatan terapi pada diri klien) yang penekanannya pada fiksasi perasaan klien dan kemudian difokuskan dalam kenomenologi dunia konseli artinya memberikan kebebasan kepada konseli untuk mengungkapan perasaannya lebih jauh lagi.

Perkembangan periode ketiga yaitu pada tahun 1957 sampai dengan 1970-an yang menekankan pada pentingnya dan cukupnya persyaratan untuk memulai suatu terapi. Perkembangan periode keempat yaitu pada tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an berubah nama menjadi Person-Centered Therapy karena aplikasinya untuk semua pribadi dikalangan apapun dan didasari oleh pandangan humanistic dan eksistensialisme.

Struktur Kepribadian 
Rogers mengemukakan konsep dasar kepribadian yang terdiri dari tiga aspek: 
  1. Organism, merupakan individu itu sendiri, mencakup aspek fisik maupun psikologis. 
  2. Phenomenal Field, yaitu pengalaman-pengalaman hidup yang bermakna secara psikologis bagi individu, dapat berupa pengetahuan, hubungan pertemanan dan pengasuhan orang tua. 
  3. Self, yaitu interaksi antara organism atau individu dengan phenomenal field yang akan membentuk self. 

Hakikat Konseling
Secara umum hakikat konseling pada Person-Centered Therapy adalah memecahkan masalah klien dengan memberikan fungsi secara penuh kepada diri klien untuk menyadari dirinya dan mengarahkan diri sendiri untuk perubahan dirinya dalam tindakan dan tingkah laku, karena person centered memandang manusia secara positif dan optimistic maka klien memiliki kapasitas untuk menajauh dari kesalahan dan pengaturan diri dalam kesehatan psikologisnya.

Kondisi Pengubahan

1. Tujuan
Tujuan konseling dalam pendekatan person centered adalah membantu individu menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling, dimana konselor mendudukan konseli sebagai orang yang berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard).

Tujuan konseling person-centered therapy adalah mengarahkan konseli untuk eksplorasi diri dan keterbukaan; menekankan self direction dan berorientasi realistik; mendorong penerimaan diri dan orang lain; dan memfokuskan here and now. Proses konseling diarahkan agar konseli memiliki keterbukaan terhadap pengalaman-pengalamannya; memberikan kepercayaan penuh pada konseli; melakukan evaluasi terhadap diri sendiri; dan kesediaan untuk berkembang secara terus menerus.

2. Sikap, peran, dan tugas Konselor
Kemampua konselor dalam membangun hubungan interpersonal dalam proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan konseling. Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga kondisi inti (corecondition) yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli. Dalam peran tersebut menunjukan sikap yang selaras dan keaslian (congruence or genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard and acceptance), dan pemahaman empati yang tepat (accurate emphatic understanding).

3. Sikap, peran, dan tugas Konseli
Agar proses konseling dapat mencapai perubahan pribadi konseli yang diinginkan, maka diperlukan beberapa kondisi yang seharusnya ada pada konseli, yaitu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dapat mengungkapkan perasaan yang tertekan dengan baik, konseli dan konselor harus bisa menciptakan suasana yang kondusif dalam proses konseling.

4. Situasi Hubungan
Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh pernyataan Rogers (1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan peribadipun akan terjadi. Ada enam kondisi yang diperlukan dan memadahi bagi perubahan kepribadian :
  1. Dua orang berada dalam hubungan psikologis.
  2. Orang pertama disebut client, ada dalam keadaan tidak selaras, peka dan cemas.
  3. Orang kedua disebut terapis, ada dalam keadaan selaras atau terintegrasi dalam berhubungan.
  4. Terapis merasakan perhatian positif tak bersyarat terhadap client.
  5. Terapis merasakan pengertian yang empatikterhadap kerangka acuan internal client dan berusaha mengkomunikasikan perasaannya ini kepad terapis.
  6. Komunikasi pengertian empatik dan rasa hormat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada client setidak-tidaknya dapat dicapai.
Tahap-tahap Konseling
Jika dilihat apa yang dilakukan konselor, person centered therapy terdiri dari empat tahap, yaitu penciptaan hubungan baik, pembebasan ungkapan, tercapainya insight, dan pengakhiran. Rogers (1961) mengidentifikasi tujuh tahap diskrit perubahan dalam konseli, masing-masing mewakili satu langkah dari ketidaksesuaian untuk keselarasan. Hal ini dirinci sebagai berikut:

Tahap pertama : Tahap ini merupakan tahap dimana konseli merasa keberatan untk mengungkapkan dirinya, komunikasi hanya bersifat eksternal, dimana konseli tidak melihat diri mereka sedang mengalami masalah dan menyalahkan orang lain atas kesulitan yang timbul. Semua pengalaman ini diukur dari segi sudut pandang gagasan.

Tahap kedua : Tahap ini yaitu proses komunikasi awal untuk mengekspresikan diri tanpa adanya topic tentang diri. Tahap ini ditandai dengan kondisi bahwa meskipun beberapa perasaan negatif mungkin sudah diakui oleh klien, pernyataan tentang pandangan atau perasaan sering diungkapkan dengan sedikit kesadaran sifat kontradiktif mereka. Sekali lagi, pada tahap ini, tidak mungkin bahwa konseli akan melakukan konseling secara sukarela.

Tahap ketiga : Penerimaan, Understanding, dan empati merupakan hal yang harus dicapai untuk berpindah ke tahap empat. Pada tahap tiga konseli mulai menunjukkan beberapa refleksi terhadap dirinya, meskipun terutama dalam hal perasaan atau pengalaman masa lalu. Perasaan dan pikiran yang bertentangan dapat diakui. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan konseli memasuki konseling, menyadari kebutuhan mereka akan bantuan. Sehingga tahap ini merupakan awal hubungan terapis dan klien dalam perasaan yang secara mendasar.

Tahap keempat : Konseli memiliki kapasitas yang meningkat untuk mengalami hal-hal here and now dan semakin menyadari perasaan tidak nyaman pada diri mereka. Sebuah tingkat yang lebih besar mempertanyakan 'diri' yang mungkin terjadi, khususnya dari aspek dan konstruksi yang sudah ada (misalnya 'konsep diri'). Tahap ini konseli mulai mengekspresikan perasaannya, pengekspresian tentang ketakuatan, ketidakpercayaan, ketidakjelasan. Validitas dari beberapa sudut pandang ini dapat dieksplorasi. Kebanyakan inti konseling berlangsung pada tahap ini, dan pada tahap kelima, segala perasaan dalam diri klien mengalir dan diekspresikan dimana pengalaman dari klien mulai didiferensiasikan.

Tahap kelima : Konseli semakin mampu memiliki pengalaman, dengan kapasitas untuk bertanggung jawab untuk banyak mengalaminya. Pandangan sebelumnya mungkin dinilai kritis, proses yang disertai dengan kemampuan yang besar untuk mengekspresikan pengalaman di masa sekarang (misalnya dengan marah).

Tahap keenam : Pada tahap ini konseli dapat terlibat pada setiap experience moment dalam pertemuan konseling dan mengungkapkan bagaimana perasaannya dalam cara yang non-defensive. Ada kebebasan yang lebih besar dalam apa yang dieksplorasi. Kini konseli dapat sepenuhnya memiliki pengalamannya. Oleh karena itu, apa yang pernah incongruent menjadi congruent. Sebuah konsep diri yang baru mulai muncul.

Tahap ketujuh : Konseli secara alami tidak lagi tunduk pada proses penolakan atau distorsi. Ada kelonggaran dalam perasaan di mana konseli dapat menerimanya setiap saat. Konseli mengambil tanggung jawab pribadi secara penuh untuk pengalamannya. Konseli sepenuhnya mampu menerima dirinya sepenuhnya dalam setiap saat.

Teknik-teknik konseling 
Pada umumnya konseling ini menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi konseli. Selain itu, tiga sikap dasar konselor, yaitu congruence or genuine, unconditional positive regard and acceptance, dan accurate empathic understanding.


a. Congruence or genuine
Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana konselor tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terintegrasi selama pertemuan konseling. konselor tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan-perasaan secara impulsif terhadap konseli. Pendekatan person-centered berasumsi bahwa jika konselor selaras atau menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan konseli, maka proses konseling bisa berlangsung.
b. Unconditional positive regardand acceptance
Perhatian tak bersayarat tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang buruk atau baik. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan pada konseli.
c. Accurate empathic understanding
Sikap ini merupakan sikap yang krusial, dimana konselor benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif konseli. Tugas konselor adalah membantu kesadaran konseli terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Rogers percaya bahwa apabila konselor mampu menjangkau dunia pribadi konseli sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh konseli, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari konseli, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi (Corey, 2009).

Sumber 

Komalasari, G, Wahyuni, E. & Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT indeks

Corey, G. (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Redaksi Rafika Aditama

Muthi’ah, A & Umar, F. N. (2013). Makalah Pendekatan Person Cintered Therapy. Malang


Friday, 18 March 2016

Terapi Humanistik Eksistensial

by Fadhila Nursyifa at 3/18/2016 0 comments

Terapi Humanistik Eksistensial adalah terapi yang sesuai dalam memberikan bantuan kepada klien. Karena teori ini mencakup pengakuan eksistensialisme terhadap kekacauan, keniscayaan, keputusasaan manusia kedalam dunia tempat dia bertanggung jawab atas dirinya.

Beberapa tokoh dalam humanistik eksistensial, salah satunya adalah Abraham Maslow menyebutnya sebagai teori holistic-dinamis karena teori ini menganggap bahwa keseluruhan dari seseorang termotivasi oleh satu atau lebih kebutuhan dan orang memiliki potensi untuk tumbuh menuju kesehatan psikologis yaitu aktualisasi diri. Untuk memenuhi aktualisasi diri, ada beberapa kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi yaitu kebutuhan akan lapar, keamanan, cinta, dan harga diri. Setelah itu semua terpenuhi, maka seseorang bisa mencapai aktualisasi diri.

Menurut Gerald Corey, (1988:54-55) ada beberapa konsep utama dari pendekatan eksistensial yaitu :

1. Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesanggupan untuk memilih alternative – alternatif yakni memutuskan secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia.
2. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab dapat menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati. Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi – potensinya.
3. Penciptaan makna
Manusia itu unik, dalam artian bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Pada hakikatnya manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna dapat menimbulkan kondisi-kondisi keterasingan dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi – potensi manusiawinya sampai taraf tertentu.

Tujuan Terapi  Humanistik Eksistensial

Tujuan mendasar humanistik eksistensial adalah membantu individu menemukan nilai, makna, dan tujuan dalam hidup manusia sendiri. Juga diarahkan untuk membantu klien agar menjadi lebih sadar bahwa mereka memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak, dan kemudian membantu mereka membuat pilihan hidup yang memungkinkannya dapat mengaktualisasikan diri dan mencapai kehidupan yang bermakna.

Menurut Gerald Corey terapi eksistensial humanistik bertujuan agar klien mengalami keberadaanya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik, menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan memikul tanggung jawab untuk memilih. Pada dasarnya terapi eksistensial adalah meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.


Ciri-ciri Humanistik Eksistensial 

Adapun ciri-ciri dari terapi eksistensial humanistik adalah sebagai berikut: 

  1. Eksistensialisme bukanlah suatu aliran melainkan suatu gerakan yang memusatkan penyelidikannya manusia sebagai pribadi individual dan sebagai ada dalam dunia (tanda sambung menunjukkan ketakterpisahan antara manusia dan dunia). 
  2. Adanya dalil-dalil yang melandasi yaitu (a) Setiap manusia unik dalam kehidupan batinnya, dalam mempersepsi dan mengevaluasi dunia, dan dalam bereaksi terhadap dunia. (b) Manusia sebagai pribadi tidak bisa dimengerti ddalam kerangka fungsi-fungsi atau unsur-unsur yang membentuknya. (c) Bekerja semata-mata dalam kerangka kerja stimulus respons dan memusatkan perhatian pada fungsi-fungsi seperti penginderaan, persepsi, belajr, dorongan-dorongan, kebiasaan-kebiasaan, dan tingkah laku emosional tidak akan mampu memberikan sumbangan yang berarti kepada pemahaman manusia 
  3. Berusaha melengkapi, bukan menyingkirkan dan menggantikan orientasi-orientasi yang ada dalam psikologi 
  4. Sasaran eksistensial adalah mengembangkan konsep yang komperehensif tentang manusia dan memahami manusia dalam keseluruhan realitas eksistensialnya, misalnya pada kesadaran, perasaan-perasaan, suasana-suasana perasaan, dan pengalaman-pengalaman pribadi individual yang berkaitan dengan keberadaan individualnya dalam dunia dan diantara sesamanya. Tujuan utamanya adalah menemukan kekuatan dasar, tema, atau tendensi dari kehidupan manusia, yang dapat dijadikan kunci kearah memahami manusia. 
  5. Tema-temanya adalah hubungan antar manusia, kebebasan, dan tanggung jawab, skala nilai-nilai individual, makna hidup, penderitaan, keputus asaan, kecemasan dan kematian. 

Fungsi dan Peran Terapis

Dalam pandangan eksistensialis tugas utama dari seorang terapis adalah mengeksplorasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketakberdayaan, keputusasaan, ketakbermaknaan, dan kekosongan eksistensial serta berusaha memahami keberadaan klien dalam dunia yang dimilikinya. May (1981), memandang bahwa tugas terapis bukanlah untuk merawat atau mengobati konseli, akan tetapi diantaranya adalah membantu klien agar menyadari tentang apa yang sedang mereka lakukan, dan untuk membantu mereka keluar dari posisi peran sebagai korban dalam hidupnya dalam keberadaanya di dunia11: “Ini adalah saat ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia yang mengancam dan sebagai subyek yang memiliki dunia”. 


Proses dan Teknik Eksistensial Humanistik

Teknik utama eksistensial humanistik pada dasarnya adalah penggunaan pribadi konselor dan hubungan konselor-konseli sebagai kondisi perubahan. Namun eksistensial humanistik juga merekomendasikan beberapa teknik (pendekatan) khusus seperti menghayati keberadaan dunia obyektif dan subyektif klien, pengalaman pertumbuhan simbolik (suatu bentuk interpretasi dan pengakuan dasar tentang dimensi-dimensi simbolik dari pengalaman yang mengarahkan pada kesadaran yang lebih tinggi, pengungkapan makna, dan pertumbuhan pribadi). Pada saat terapis menemukan keseluruhan dari diri klien, maka saat itulah proses terapeutik berada pada saat yang terbaik. Penemuan kreatifitas diri terapis muncul dari ikatan saling percaya dan kerjasama yang bermakna dari klien dan terapis. 

Proses konseling oleh para eksistensial meliputi tiga tahap yaitu:


1. Tahap Pertama
Konselor membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
 2. Tahap Kedua
Klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari system mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
3. Tahap Ketiga
Berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaaan kebebasan pribadinya.


Sumber :

Corey, G. (1995). Terapi dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT. Eresku.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Modul bimbingan dan konselingPLGP kuota 2008.Surabaya : Unesa.

Misiak, Henryk., dan Sexton, Virginia Staudt. (2005). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial, dan Humanistik. Bandung: Refika Aditama.

Sunday, 13 March 2016

Terapi Psikoanalisis

by Fadhila Nursyifa at 3/13/2016 0 comments
Teori psikoanalisis Freud memusatkan perhatian pada pentingnya pengalaman masa kanak-kanak awal. Dalam pandangan ini, benih-benih dari gangguan psikologis sudah ditanamkan pada tahun-tahun awal pertumbuhan. Freud berpendapat bahwa pikiran manusia terdiri dari tiga bagian, yakni kesadaran, keprasadaran, dan ketidaksadaran. Kesadaran mengacu pada pengalaman-pengalaman mental dalam kesadaran sekarang. Keprasadaran berisi mental yang sekarang tidak ada dalam kesadaran tetapi dapat dengan mudah masuk ke dalam kesadaran. Ketidaksadaran merupakan bagian terbesar dari pikiran adalah gudang dari insting-insting dasar, seperti seks dan agresi.


Freud juga mengemukakan tiga struktur mental atau psikis, yakni id, ego, dan super ego. Satu-satunya struktur mental yang ada sejak lahir adalah id, yang merupakn dorongan-dorongan biologis dan berada dalam ketidaksadaran. Id beroperasi menurut prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan mencari kepuasan segera. Ego adalah pikiran yang beroperasi menurut prinsip kenyataan (reality principle) yang memuaskan dorongan-dorongan id menurut cara-cara yang dapat diterima masyarakat. Superego, merupakan bagian dari nilai-nilai moral dan beroperasi menurut prinsip moral. 

Dalam pandangan Freud, tuntutan yang saling berkonflik dari struktur kepribadian menyebabkan rasa cemas. Misalnya, ketika ego menghambat pencapaian kepuasan oleh id, maka akan tibul rasa cemas. Keadaan yang tidak menyenankan ini berkembang ketika ego merasa bahwa id akan menimbulkan gangguan pada individu. Rasa cemas memperingatkan ego agar mengatasi konflik dengan menggunakan mekanisme pertahan diri (defense mechanisms). Ada beberapa macam mekanisme pertahanan diri menurut Freud yaitu, represi (repression), sublimasi (sublimation), proyeksi (proyection), pengelakan atau pemindahan (displacement), rasionalisasi (rationalization), pembentukan reaksi (reaction formation) dan regresi (regression).


Represi merupakan mekanisme pertahanan yang paling umum dan paling kuat, menurut Freud. Impuls yang tidak dapat diterima didorong keluar dari kesadaran dan kembali ke pikiran yang tidak disadari. Represi merupakan dasar dari semua mekenisme pertahanan bekerja; tujuan dari semua mekanisme pertahanan adalah untuk menekan atau mendorong impuls yang mengancam keluar dari kesadaran. Ada dua hal yang penting tentang mekanisme pertahanan diri. Pertama, hal tersebut tidak disadari. Kedua, kalau digunakan secara moderat atau sementara waktu, mekanisme pertahanan tidak berakibat negatif. Akan tetapi, bila digunakan secara berlebihan dapat menyebabkan pola tingkah laku abnormal.

Selain itu freud juga mengemukakan lima tahap perkembangan psikoseksual yang berhubungan dengan perubahan-perubahan pemindahan energi atau libido dari salah satu daerah erogen ke daerah erogen yang lain. Tahap-tahap tersebut adalah tahap oral, tahap anal, tahap phalik, tahap laten, dan tahap genital.


Terapi Psikoanalitik Freud

Selain mengembangkan suatu teori kepribadian yang disebut teori psikoanalitik, Freud juga mengembangkan suatu bentuk terapi psikoanalisis. Kerangka terapi psikoanalitik dikembangkan Freud dalam waktu bertahun-tahun selama praktek privatnya sebagi dokter. Freud menggunakan psikoanalisis untuk membantu klien memperoleh pemahaman mengenai konflik-konflik tak sadar dan memecahkannya. Apabila metode-metode yang digunakan oleh terapi psikoanalitik mulai mengembangkan dalam diri pasien suatu pemahaman (insight) baru terhadap kekuatan-kekuatan kepribadiannya, maka proses psikoanalitik sudah berada pada jalan menciptakan penyesuaian diri yang berhasil dari pasien terhadap lingkungannya. 

Freud mengemukakan bahwa tujuan psikoanalisis adalah memperkuat ego, membuatnya lebih independen dari superego, memperlebar medan persepsinya, memperluas organisasinya sehingga ia dapat memiliki bagian-bagian yang segar dari id. Tujannya adalah hanya untuk menggantikan tingkah laku defensif dengan tingkah laku yang lebih adaptif. Dengan berbuat demikian, klien dapat menemukan kepuasan tanpa menghukum dirinya sendiri dan orang lain.

Teknik-teknik utama yang digunakan Freud untuk mencapai tujuan tersebut adalah asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis resisten, analisis transferensi, dan interpretasi (penafsiran).

  1. Asosiasi Bebas
    Asosiasi bebas adalah teknik yang memberi kebebasan pada klien untuk mengatakan apa saja perasaan, pemikiran, dan renungan yang ada dalam pikirannya tanpa ada yang disembunyikan. Melalui teknik ini, klien diharapkan mampu melepaskan emosi yang berkaitan dengan pengalaman traumatik di masa lau yang terpendam (katarsis). Katarsis inilah yang mendorong klien memperoleh pemahaman dan evaluasi diri yang lebih objektif. Tugas terapis disini adalah memahami hal-hal yang di represi dan hanyut ke alam bawah sadar. Selanjutnya terapis akan menafsirkan hal tersebut dan menyampaikannya pada klien. Setelah itu, membimbing ke arah pemahaman dinamika kepribadian yang tidak disadari oleh klien.
  2. Analisis Mimpi
    Freud menilai mimpi sebagai jalan istimewa menuju ketidaksadaran karena melalui mimpi, hasrat, kebutuhan dan ketakutan yang di pendam akan mudah diungkapkan. Pada saat klien tidur, pertahanan egonya akan melemah sehingga perasaan yang ditekan akan muncul ke alam sadar. Analisis mimpi memungkinkan terapis untuk mengetahui masalah-masalah yang tidak terselesaikan oleh klien. Pada dasarnya mimpi memiliki 2 taraf isi, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri dari motif yang disamarkan, tersembunyi dan bersifat simbolik karena terlalu menyakitkan dan mengancam seperti dorongan seksual dan agresif. Sementara itu, isi manifes terdiri dari bentuk mimpi yang tampil dalam impian klien. Tugas terapis disini adalah menyingkap makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol dari isi manifes mimpi, sehingga dapat diketahui isi laten klien.
  3. Analisis Resistensi
    Resistensi dipandang oleh Freud sebagai pertahanan klien terhadap kecemasan yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan dan perasaan yang direpresinya. Hal ini akan menghambat terapis dan klien memperoleh pemahaman dinamika ketidaksadaran klien. Jika terjadi resistensi, terapis harus membangkitkan perhatian klien dan menafsirkan resistensi yang paling terlihat untuk mengurangi kemungkinan klien menolak penafsiran. Resistensi dapat menghambat kemampuan klien untuk mengalami kehidupan yang lebih memuaskan sehingga sebisa mungkin terapis harus dapat memberi pemahaman pada klien agar membuka tabir resistensinya.
  4. Analisis Transferensi
    Transferensi merupakan reaksi klien yang melihat terapis sebagai orang yang paling dekat dan penting dalam hidupnya di masa lalu. Sebagian besar terapis akan mengembangkan neurosis transferensi yang dialami klien di lima tahun pertama kehidupannya. Untuk itu terapis harus melakukannya secara netral, objektif, anonim dan pasif. Teknik ini akan mendorong klien menghidupkan kemabali masa lalunya sehingga memberi pemahaman pada klien mengenai pengaruh masa lalunya terhadap kehidupannya saat ini. Melalui transferensi, klien juga mampu menyadari konflik masa lalu yang masih dipertahankannya sampai sekarang.
  5. Interpretasi (Penafsiran)
    Interpretasi merupakan prosedur dasar yang mencakup analisis terhadap asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis resistensi, dan analisis transferensi. Terapis akan menyampaikan sekaligus memberi pemahaman pada klien mengenai makna dari tingkah laku klien yang dimanifestasikan melalui keempat teknik psikoanalisis tersebut. Tujuan dari penafsiran ini adalah agar mendororng ego klien untuk megasimilasi hal-hal baru dan mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tidak disadari. Penafsiran harus disampaikan pada saat yang tepat agar dapat diterima klien sebagai bagian dari dirinya. Apabila disampaikan terlalu cepat, kemungkinan klien akan melakukan penolakan, tetapi apabila penafsiran jarang dilakukan, kemungkinan klien akan sulit memperoleh insight atas masalahnya.

Beberapa keterbatasan psikoanalisis telah diketahui oleh Freud. Pertama, tidak semua ingatan lama dapat atau harus dibawa ke dalam kesadaran. Kedua, perawatan psikoanalitik hanya efektif untuk bermacam-macam neurosis transfrensi, seperti fobia, histeria dan obsesi, tetapi tidak demikian halnya dengan psikosis atau penyakit-penyakit konstitusional. Ketiga, walaupun tidak hanya berlaku untuk psikoanalisis, pasien yang sudah sembuh mungkin kemudian mengembangkan neurosis lain. Karena mengetahui keterbatasan-keterbatasan ini, Freud berpendapat bahwa psikoanalisis dapat digunakan bersama terapi lain. Walaupun demikian, ia berkali-kali mengemukakan bahwa terapi psikoanalitik tidak boleh dipersingkat atau dimodifikasi dalam cara yang hakiki.


Sumber :

Semiun, Yustinus. (2006). Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Santrock, John W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.


 

Kumpulan Tugas Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea