Person-Centered Therapy merupakan model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan dikembangkan oleh psikolog humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek terapi person centered. Menurut Roger konsep inti terapi person centered adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Sejarah
Carl Roger |
Person-Centered Therapy dibagi dalam empat periode perkembangan yaitu pada tahun 1940-an Carl Roger menamakan non-dirictive counseling sebagai reaksi kontra terhadap pendekatan psikoanalisis yang bersifat direktif dan tradisional, dimana non-dirictive counseling ini juga tidak memberikan kebebasan kepada konseli untuk mengungkapkan perasaannya.
Perkembangan periode kedua yaitu pada tahun 1951 dimana Roger mengubah nama pendekatannya menjadi Client-Centered Therapy (pemusatan terapi pada diri klien) yang penekanannya pada fiksasi perasaan klien dan kemudian difokuskan dalam kenomenologi dunia konseli artinya memberikan kebebasan kepada konseli untuk mengungkapan perasaannya lebih jauh lagi.
Perkembangan periode ketiga yaitu pada tahun 1957 sampai dengan 1970-an yang menekankan pada pentingnya dan cukupnya persyaratan untuk memulai suatu terapi. Perkembangan periode keempat yaitu pada tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an berubah nama menjadi Person-Centered Therapy karena aplikasinya untuk semua pribadi dikalangan apapun dan didasari oleh pandangan humanistic dan eksistensialisme.
Struktur Kepribadian
Rogers mengemukakan konsep dasar kepribadian yang terdiri dari tiga aspek:
- Organism, merupakan individu itu sendiri, mencakup aspek fisik maupun psikologis.
- Phenomenal Field, yaitu pengalaman-pengalaman hidup yang bermakna secara psikologis bagi individu, dapat berupa pengetahuan, hubungan pertemanan dan pengasuhan orang tua.
- Self, yaitu interaksi antara organism atau individu dengan phenomenal field yang akan membentuk self.
Hakikat Konseling
Secara umum hakikat konseling pada Person-Centered Therapy adalah memecahkan masalah klien dengan memberikan fungsi secara penuh kepada diri klien untuk menyadari dirinya dan mengarahkan diri sendiri untuk perubahan dirinya dalam tindakan dan tingkah laku, karena person centered memandang manusia secara positif dan optimistic maka klien memiliki kapasitas untuk menajauh dari kesalahan dan pengaturan diri dalam kesehatan psikologisnya.
Kondisi Pengubahan
1. Tujuan
Tujuan konseling dalam pendekatan person centered adalah membantu individu menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling, dimana konselor mendudukan konseli sebagai orang yang berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard).
Tujuan konseling person-centered therapy adalah mengarahkan konseli untuk eksplorasi diri dan keterbukaan; menekankan self direction dan berorientasi realistik; mendorong penerimaan diri dan orang lain; dan memfokuskan here and now. Proses konseling diarahkan agar konseli memiliki keterbukaan terhadap pengalaman-pengalamannya; memberikan kepercayaan penuh pada konseli; melakukan evaluasi terhadap diri sendiri; dan kesediaan untuk berkembang secara terus menerus.
2. Sikap, peran, dan tugas Konselor
Kemampua konselor dalam membangun hubungan interpersonal dalam proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan konseling. Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga kondisi inti (corecondition) yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli. Dalam peran tersebut menunjukan sikap yang selaras dan keaslian (congruence or genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard and acceptance), dan pemahaman empati yang tepat (accurate emphatic understanding).
3. Sikap, peran, dan tugas Konseli
Agar proses konseling dapat mencapai perubahan pribadi konseli yang diinginkan, maka diperlukan beberapa kondisi yang seharusnya ada pada konseli, yaitu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dapat mengungkapkan perasaan yang tertekan dengan baik, konseli dan konselor harus bisa menciptakan suasana yang kondusif dalam proses konseling.
4. Situasi Hubungan
Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh pernyataan Rogers (1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan peribadipun akan terjadi. Ada enam kondisi yang diperlukan dan memadahi bagi perubahan kepribadian :
- Dua orang berada dalam hubungan psikologis.
- Orang pertama disebut client, ada dalam keadaan tidak selaras, peka dan cemas.
- Orang kedua disebut terapis, ada dalam keadaan selaras atau terintegrasi dalam berhubungan.
- Terapis merasakan perhatian positif tak bersyarat terhadap client.
- Terapis merasakan pengertian yang empatikterhadap kerangka acuan internal client dan berusaha mengkomunikasikan perasaannya ini kepad terapis.
- Komunikasi pengertian empatik dan rasa hormat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada client setidak-tidaknya dapat dicapai.
Tahap-tahap Konseling
Jika dilihat apa yang dilakukan konselor, person centered therapy terdiri dari empat tahap, yaitu penciptaan hubungan baik, pembebasan ungkapan, tercapainya insight, dan pengakhiran. Rogers (1961) mengidentifikasi tujuh tahap diskrit perubahan dalam konseli, masing-masing mewakili satu langkah dari ketidaksesuaian untuk keselarasan. Hal ini dirinci sebagai berikut:
Tahap pertama : Tahap ini merupakan tahap dimana konseli merasa keberatan untk mengungkapkan dirinya, komunikasi hanya bersifat eksternal, dimana konseli tidak melihat diri mereka sedang mengalami masalah dan menyalahkan orang lain atas kesulitan yang timbul. Semua pengalaman ini diukur dari segi sudut pandang gagasan.
Tahap kedua : Tahap ini yaitu proses komunikasi awal untuk mengekspresikan diri tanpa adanya topic tentang diri. Tahap ini ditandai dengan kondisi bahwa meskipun beberapa perasaan negatif mungkin sudah diakui oleh klien, pernyataan tentang pandangan atau perasaan sering diungkapkan dengan sedikit kesadaran sifat kontradiktif mereka. Sekali lagi, pada tahap ini, tidak mungkin bahwa konseli akan melakukan konseling secara sukarela.
Tahap ketiga : Penerimaan, Understanding, dan empati merupakan hal yang harus dicapai untuk berpindah ke tahap empat. Pada tahap tiga konseli mulai menunjukkan beberapa refleksi terhadap dirinya, meskipun terutama dalam hal perasaan atau pengalaman masa lalu. Perasaan dan pikiran yang bertentangan dapat diakui. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan konseli memasuki konseling, menyadari kebutuhan mereka akan bantuan. Sehingga tahap ini merupakan awal hubungan terapis dan klien dalam perasaan yang secara mendasar.
Tahap keempat : Konseli memiliki kapasitas yang meningkat untuk mengalami hal-hal here and now dan semakin menyadari perasaan tidak nyaman pada diri mereka. Sebuah tingkat yang lebih besar mempertanyakan 'diri' yang mungkin terjadi, khususnya dari aspek dan konstruksi yang sudah ada (misalnya 'konsep diri'). Tahap ini konseli mulai mengekspresikan perasaannya, pengekspresian tentang ketakuatan, ketidakpercayaan, ketidakjelasan. Validitas dari beberapa sudut pandang ini dapat dieksplorasi. Kebanyakan inti konseling berlangsung pada tahap ini, dan pada tahap kelima, segala perasaan dalam diri klien mengalir dan diekspresikan dimana pengalaman dari klien mulai didiferensiasikan.
Tahap kelima : Konseli semakin mampu memiliki pengalaman, dengan kapasitas untuk bertanggung jawab untuk banyak mengalaminya. Pandangan sebelumnya mungkin dinilai kritis, proses yang disertai dengan kemampuan yang besar untuk mengekspresikan pengalaman di masa sekarang (misalnya dengan marah).
Tahap keenam : Pada tahap ini konseli dapat terlibat pada setiap experience moment dalam pertemuan konseling dan mengungkapkan bagaimana perasaannya dalam cara yang non-defensive. Ada kebebasan yang lebih besar dalam apa yang dieksplorasi. Kini konseli dapat sepenuhnya memiliki pengalamannya. Oleh karena itu, apa yang pernah incongruent menjadi congruent. Sebuah konsep diri yang baru mulai muncul.
Tahap ketujuh : Konseli secara alami tidak lagi tunduk pada proses penolakan atau distorsi. Ada kelonggaran dalam perasaan di mana konseli dapat menerimanya setiap saat. Konseli mengambil tanggung jawab pribadi secara penuh untuk pengalamannya. Konseli sepenuhnya mampu menerima dirinya sepenuhnya dalam setiap saat.
Teknik-teknik konseling
Pada umumnya konseling ini menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi konseli. Selain itu, tiga sikap dasar konselor, yaitu congruence or genuine, unconditional positive regard and acceptance, dan accurate empathic understanding.
a. Congruence or genuine
Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana konselor tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terintegrasi selama pertemuan konseling. konselor tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan-perasaan secara impulsif terhadap konseli. Pendekatan person-centered berasumsi bahwa jika konselor selaras atau menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan konseli, maka proses konseling bisa berlangsung.
b. Unconditional positive regardand acceptance
Perhatian tak bersayarat tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang buruk atau baik. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan pada konseli.
c. Accurate empathic understanding
Sikap ini merupakan sikap yang krusial, dimana konselor benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif konseli. Tugas konselor adalah membantu kesadaran konseli terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Rogers percaya bahwa apabila konselor mampu menjangkau dunia pribadi konseli sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh konseli, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari konseli, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi (Corey, 2009).
Sumber
Komalasari, G, Wahyuni, E. & Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT indeks
Corey, G. (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Redaksi Rafika Aditama
Muthi’ah, A & Umar, F. N. (2013). Makalah Pendekatan Person Cintered Therapy. Malang