Viktor Frankl, seorang pria yang dilahirkan pada tahun 1905. Sewaktu Perang Dunia II, Ia adalah salah satu tahanan di penjara kamp konsentrasi NAZI. Hitler menamakannya Holocaust atau ”Pemecahan Akhir”. Orang–orang dimasukkan seperti hewan ke dalam kereta yang penuh sesak dan digiring ke penjara mereka. Sebuah nomor di tangan mereka, diberikan untuk mengganti nama-nama mereka. Mereka dimasukkan ke dalam ruang gas beracun untuk dimusnahkan. Diperkirakan lebih dari enam juta orang dibunuh dengan gas, dibakar, ditembak, atau dibiarkan mati kelaparan. Setiap harinya selalu ada tahanan yang meninggal. Terlepas dari parahnya kondisi saat itu, Viktor Frankl sadar bahwa ada satu unsur yang tidak dapat dikendalikan oleh para penawannya (NAZI), yaitu SIKAP dirinya. Dia berkata,
“Ada satu hal yang tidak dapat mereka ambil dari saya, dan itulah kebebasan saya untuk MEMILIH bagaimana saya akan BEREAKSI terhadap apa yang terjadi pada diri saya.”
Viktor Frankl bereaksi secara positif terhadap peneritaan yang mungkin paling besar. Pada tahun-tahun penuh siksaan yang dijalaninya di kamp konsentrasi, ia mengembangkan filosofi psikiatri yang paling kuat, yang disebut dengan Logoterapi.
Logoterapi berasal dari kata Yunani logos yang mengandung dwiarti. Pertama, logos yang artinya”sprit” (semangat) yaitu suatu dimensi terdalam dari seorang manusia, dan arti ini lebih antropologis daripada teologis. Kedua adalah “meaning” yaitu nilai hidup sebagai seorang manusia. Singkatnya logotetari adalah sebuah teori yang berorientasi untuk menemukan arti, suatu arti dalam dan bagi eksistensi manusia. Yang terpenting adalah menerima tanggung jawab dan berusaha menemukan arti nilai di balik kehidupan.
Tiga konsep dalam logoterapi :
- Freedom of will (bebas dari kemauan). Kebebasan yang dimaksud adalah suatu kebebasan untuk tetap berdiri apapun kondisi yang dialami manusia. Manusia bebas untuk menentukan sikapnya menghadapi keadaan sekitarnya, bebas untuk mengambil sikap untuk menghadapi dunia dan menghadapi diri sendiri.
- "Will-to-meaning”, yaitu suatu kemauan untuk menemukan arti hidupnya. “will-to-meaning" ini suatu dorongan kemauan dasar yang berjuang untuk mencapai arti dalam hidupnya. Will to meaning muncul dari keingianan pembawan dasar manusia untuk memberikan sedapat mungkin nilai bagi dirinya, untuk mengaktualisasikan sebanyak mungkin nilai-nilai hidup manusia dalam dirinya.
- “The meaning of life” yaitu arti hidup bagi seorang manusia. Arti hidup yang dimaksud adalah arti hidup untuk di respon, respon yang diberikan bukan dalam bentuk kata-kata tapi dalam bentuk tindakan, dengan melakukannya.
Logoterapi menyajikan suatu pendekatan positif pada mereka yang mengalami gangguan mental secara pribadi. Logoterapi muncul sebagai sekolah psikoterapi ketiga di Vienna, setelah psikoanalisa Freud, dan psikologi individual Adler. Viktor Frankl percaya bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk di bumi yang tidak seperti makhluk lain, manusia memiliki roh. Karena manusia memiliki dimensi spiritual ini, Viktor percaya bahawa psikiatri tidak dapat hanya didasarkan pada obat atau zat kimia.
Tujuan Logoterapi
Logoterapi bertujuan agar masalah yang dihadapi klien, bisa ditemukan makna dari penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu klien akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari masalah tersebut. Ada pun tujuan dari logoterapi adalah agar setiap pribadinya, yaitu:
- Memahami adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara universal.
- Ada pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang dianutnya.
- Menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat dan diabaikan bahkan terlupakan.
- Memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan.
- Agar mampu tegak, kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
Langkah-langkah dalam Proses Terapi
1. Menghadapi Situasi tersebut
Diagnosis yang tepat merupakan langkah pertama dalam terapi dan merupakan sesuatu yang penting. Tujuan diagnosis adalah menentukan sifat dari setiap faktor dan mengidentifikasi faktor manakah yang dominan.
2. Kesadaran akan Simtom
Dalam menangani reaksi-reaksi neurosis psikogenik, logoterapi diarahkan bukan pada simtom-simtom dan bukan juga pada penyebab psikis, melainkan sikap klien terhadap simtom-simtom tersebut dalam mengubah sikap klien terhadap simtom-simtom itu, logoterapi benar-benar merupakan suatu terapi personalitik.
3. Mencari Penyebab
Logoterapi adalah suatu terapi khusus bagi frustasi eksistensial (kehampaan eksistenasial) atau frustasi terhadap keinginan akan makna. Kondisi-kondisi ini jika menghasilkan simtom-simtom neurotik, maka disebut neurosis noogenik.
Logoterapi berurusan dengan penyadaran manusia terhadap tanggung jawabnya karena tanggung jawab merupakan dasar yang hakiki bagi keberadaan manusia. Tanggung jawab berarti kewajiban, dan kewajiban tersebut hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan makna, yakni makna hidup.
Jadi, logoterapi berkenaan dengan makna dalam berbagai aspek dan bidangnya. Makna keberadaan itu dapat berupa makna hidup dan mati, makna pendeitaan, makna pekerjaan dan makna mati.
4. Menemukan Hubungan antara Penyebab dan Simtom
Neurosis kecemasan dan keadaan fobia ditandai oleh kecemasan antisipatori yang menimbulkan kondisi yang ditakutu klien. Terjadinya kondisi tersebut kemudian memperkuat kecemasan antisipatori yang mengakibatkan lingkaran setan sehingga sehingga klien menghindar atau menarik diri dari situasi-situasi tersebut, di mana ia merasakan bahwa kecemasannya akan terjadi.
Peranan dan Kegiatan Terapis
1. Menjaga hubungan yang akrab dan pemisahan ilmiah.
Terapis pertama-tama harus menciptakan hubungan antara klien dengan mencari keseimbangan antara dua ekstrem, yakni hubungan yang akrab (seperti simpati) dan pemisahan secara ilmiah (menangani klien sejauh ia melibatkan diri dalam teknik terapi).
2. Mengendalikan filsafat pribadi
Maksudnya adalah terapis tidak boleh memindahkan filsafat pribadi pada klien, karena logoterapi digunakan untuk menangani masalah-masalah yang menyangkut nilai-nilai dan masalah spiritual, seperti aspirasi terhadap hidup yang bermakna, makna cinta, makna penderitaan, dan sebagainya.
3. Terapis bukan guru atau pengkhotbah
Terapis adalah seorang spesialis mata dalam pengertian bahwa ia memberi kemungkinan kepada klien untuk melihat dunia sebagaimana adanya, dan bukan seorang pelukis yang menyajikan dunia sebagaimana ia sendiri melihatnya.
4. Memberi makna lagi pada hidup
Salah satu tujuan logoterapi adalah menemukan tujuan dan maksud keberadaannya. Kepada klien bahwa setiap kehidupan memiliki potensi-potensi yang unik dan tugas utamanya adalah menemukan potensi-potensi itu. Pemenuhan tugas ini memberi makna pada kepada hidupnya.
5. Memberi makna lagi pada penderitaan
Di sini, terapis harus menekan bahwa hidup manusia dapat dipenuhi tidak hanya dengan menciptakan sesuatu atau memperoleh sesuatu, tetapi juga dengan menderita. Manusia akan mengalami kebosanan dan apati jika ia tidak mengalami kesulitan atau penderitaan.
6. Menekankan makna kerja
Tugas terapis adalah memperlihatkan makan pada pekerjaan itu sehingga nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang yang bekerja berubah. Tanggunga jawab terhadap hidup dipikul oleh setiap orang dengan menjawab kepada situasi-situasi yang ada. Ini dilakukan bukan dengan perkataan, melainkan dengan tindakan. Kesadaran akan tanggung jawab timbul dari kesadaran akan tugas pribadi yang konkret dan unik.
7. Menekankan makna cinta
Tugas terapis adalah menuntut klien untuk mencintai dalam tingkat spiritual atau tidak mengacaukan cinta seksual dengan cinta spiritual yang menghidupi pengalaman orang lain dalam semua keunikan dan keistimewaannya.
Teknik Logoterapi
Frankl dengan logoterapi-nya tidak hanya menyumbang teori, tetapi juga teknik-teknik terapi yang khusus kepada dunia psikoterapi. Menurut Semiun (2006) teknik-teknik logoterapi yang terkenal adalah intensi paradoksikal, derefleksi, dan bimbingan rohani.
1. Intensi Paradoksikal
Teknik intensi paradoksikal adalah teknik dimana klien diajak melakukan sesuatu yang paradoks dengan sikap klien terhadap situasi yang dialami. Jadi klien diajak mendekati dan mengejek sesuatu (gejala) dan bukan menghindarinya atau melawannya. Teknik ini pada dasarnya bertujuan lebih daripada perubahan pola-pola tingkah laku. Lebih baik dikatakan suatu reorientasi eksistensial. Menurut logoterapi disebut antagonisme psikonoetik yang mengacu pada kapasitas manusia untuk melepaskan atau memisahkan dirinya tidak hanya dari dunia, tetapi juga dari dirinya sendiri.
Teknik ini diarahkan pada penghapusan gejala melalui cara yang paradoks, yakni meminta kepada klien agar ia dengan sengaja menampilkan gejala yang dialaminya, tetapi dengan melebih-lebihkan dan mengejek atau berhumor atas gejala itu. Landasan dari intensi paradoksikal ini adalah kesanggupan manusia untuk bebas bersikap dan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Mengambil jarak terhadap diri sendiri berarti melampaui diri sendiri, dan inilah yang dinamakan humor. Frankl mengemukakan bahwa humor tehadap diri sendiri atau menertawakan gejala-gejalanya sendiri bagi individu memiliki pengaruh kuratif.
2. Derefleksi
Frankl percaya bahwa sebagian besar persoalan kejiwaan berasal dari perhatian yang terlalu fokus pada diri sendiri. Dengan mengalihkan perhatian dari diri sendiri dan mengarahkannya pada orang lain, persoalan-persoalan itu akan hilang dengan sendirinya. Dengan teknik tersebut, klien diberi kemungkinan untuk mengabaikan neurosisnya dan memusatkan perhatian pada sesuatu yang terlepas dari dirinya.
3. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang tidak dapat terhindarkan atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya. Pada metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya dalam rangka menemukan makna di balik penderitaan tersebut.
Sumber :
Naisaban, L. (2004). Para psikolog terkemuka dunia (riwayat hidup, pokok pikiran dan karya. Jakarta : Grasindo.
Tjandra, H.S. (2005). Change the world : Change your destiny by changing your attitude. Jakarta : Gramedia.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.